Apa yang harus dituliskan? Seakan semua hal yang ingin aku tuliskan tidak akan menjadi sesuatu yang bermutu, dan lebih parah lagi pikiran ini terlanjur mengatakan bahwa tulisan yang kamu buat itu tidak ada manfaatnya.
Aneh memang. Tapi mengapa?
Padahal keinginan menulis di dalam diriku begitu besar, aku ingin membawa perubahan dengan tulisan. Ingin mengungkapkan ide yang cemerlang dengan tulisan. Ingin mengembara lautan ilmu dengan tulisan. Ingin melepaskan penat dengan tulisan. Ingin membawa kebaikan dengan tulisan, memetik hikmah dengan tulisan, mencari dalamnya samudra kehidupan.
Apa yang harus aku tulis? Apakah cerita-cerita fiksi dengan tokoh-tokohnya yang tidak pernah ada di bumi, tulisan tentang imajinasi nakal yang liar, atau cerita tentang kebaikan yang mendekati taraf malaikat? Aku masih bingung untuk menuliskan sesuatu.
Lagi-lagi tulisan ini yang muncul. Jika kuberi nama, maka nama tulisan-tulisanku ini adalah tulisan atas ketidak mampuan menulis. Sebuah nama yang rancu dan penuh dengan kelemahan jiwa.
Namun lagi-lagi aku dibuat aneh. Memang tulisan atas ketidak mampuan inilah yang selalu dianjurkan oleh para penulis ternama ketika kita mentok tidak bisa menulis.
Mereka mengatakan, tulislah apa yang kamu rasakan. Kesulitan jari-jarimu yang kelu kaku beku, tulislah tentang kebuntuanmu menemukan ide. Semuanya…semuanya..tulis…tulis…
Sebenarnya aku ingin menulis dengan ide-ide yang terarah dan terkonsep, sehingga tulisan itu melahirkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Memberikan inspirasi untuk mereka yang sedang terpuruk. Membangkitkan semangat-seperti kisah Lintang dalam novel laskar pelangi.
Aku ingin menulis terus menerus. Aku ingin melanjutkan hidup dengan lebih baik. Aku ingin mengejar mimpi-mimpiku. Mimpi mengelilingi dunia. Menjelajahi berbagai kebudayaan. Merasakan dinginnya udara benua eropa, merasakan terik panasnya benua afrika, merasakan keegoisan penduduk amerika, merasakan sikap toleran muslim di berbagai belahan timur tengah. Ah mimpi yang indah tak terperi…
Negeri-negeri yang dijanjikan mimpi. Mimpi dari seorang yang selalu berdiam diri. Mimpi dari seorang yang sangat ingin menjadi seorang penulis yang membawa perubahan kepada kebaikan. Apakah aku harus hebat terlebih dahulu sehingga bisa membuat tulisan yang hebat dan membawa pencerahan. Apakah aku harus berhasil terlebih dahulu untuk membuat orang lain berhasil. Apakah hokum alam-sunnatullah seperti itu. Apakah seperti itu?...
Mudah-mudahan logika itu terbalik. Mudah-mudahan logikanya seperti yang dikatakan oleh Jonru. Dia mengatakan “ tidak harus menjadi hebat untuk memulai, tapi kamu harus memulai menulis untuk menjadi hebat”.
Hebat dalam arti apa?
Sebuah prestasi yang bisa membanggakan hati. Membuat kepercayaan diri melejit sampai langit ke tujuh. Sebuah kehebatan yang memberikan sinar seterang sinar mentari yang menjalankan titah Allah. Dengan sinarnya matahari membuat manusia bisa menjalankan aktifitasnya di siang hari.
Kembali lagi. Aku ingin menulis. Menuliskan ide-ide yang berkutat di dalam kepala. Ingin menceritakan bagaimana kerasnya kehidupan para pengemis, kerasnya kehidupan anak-anak jalanan. Kerasnya kehidupan mereka yang harus bangun pukul dua pagi untuk menanggung ikan dari nelayan menuju tempat pelelangan.
Tulisan atas ketidak mampuan.
Inilah tulisan itu, tidak mampu untuk menuliskan ide yang cemerlang. Aku ingin menceritakan tentang sahabat-sahabatku ketika SD, ketika SMP ketika pesantren sampai sahabat-sahabatku-tiga serangkai-ketika kuliah yang tak kunjung selesai.
Aku ingin menuliskan kebaikan-kebaikan mereka dengan tinta emas kehidupan. Ketulusan hati mereka ketika aku menemui kesulitan. Solusi-solusi cemerlang dari sahabat-sahabat SMP ku-para anak belakang-yang cerdas dan sangat ceria.
Team basket yang solid menjalin persahabatan. Persahabatan di lapangan, di kelas, di aula serbaguna. Tulisan tentang dinginnya angin malam yang menusuk tulang dan daging kita bersama ketika harus jaga malam di pesantren.
Aku ingin menuliskan tentang nikmatnya makan singkong rebus di keheningan malam. Ditemani bintang-bintang yang berkelip di langit pesantren daarul uluum Lido. Aku ingin menuliskan kembali indahnya suasana malam dengan petikan-petikan senar gitar. Merenungi masa depan yang sekarang sedang aku jalani.
Ah sungguh kisah-kisah indah itu sulit untuk kulupakan. Dan memang tidak ingin aku melupakannya.
Ingin kutuliskan tentang perasanku ketika pertama kali menatapnya. Pandangan mata yang begitu teduh, penuh dengan janji akan masa depan yang kan kulalui bersamanya. Paras wajahnya yang anggun. Pesona keindahan rok yang dikenakannya. Dan kelebatan pikiran yang sekarang menjadi kenyataan.
Ingin kutuliskan kisah tentang cerita kita untuk mengakhiri masa yang berlumuran dosa menjadi bertabur pahala. Kisah tentang akad yang menyatukan dua jiwa yang berbeda. Kisah tentang akad nikah yang penuh dengan kesakralan. Kisah tentang tangis air mata keharuan yang mendalam. Kisah tentang ibu yang harus melepaskan anaknya untuk merantau. Ah banyak kisah yang ingin aku tuliskan.
Apa yang harus kulakukan? Apa aku tulis saja semua hal itu tanpa memikirkan apakah tulisan itu bagus atau tidak, idenya cemerlang atau tidak, konsepnya terarah atau tidak membawa pencerahan atau tidak.
Apakah kutulisakan saja apa yang ingin aku tuliskan. Misalkan ketika aku ingin menulis tentang kebaikan sahabatku ketika SD, ketika SMP, ketika pesantren, apa langsung kutulis saja. Jangan banyak berpikir jangan banyak pertimbangan.
Apakah tulis menulis sama dengan langkah hidup yang mengantarkan kita kemana saja kaki ini melangkah. Apakah sama dengan kebaikan yang akan kita lakukan.
Tidak perlu kita memikirkan kebaikan yang akan kita lakukan, karena sudah pasti bahwa kebaikan itu akan melahirkan kebaikan pula, sebagaimana dusta akan melahirkan dusata yang lainnya.
Setiap menulis, setiap menghadapi computer selalu begini, selalu mengeluh dengan ketidak mampuan.
Padahal kalau aku bisa melihat diriku dari luar. Maksudnya aku menjadi orang lain dan memperhatikan diriku sendiri, tidak buruk-buruk amat.
Contohnya apa? Meskipun sekarang, saat ini, ya ketika aku menuliskan ini semua. Dalam tulisan ini aku mengatakan dan menuliskan bahwa aku tidak mampu untuk menuliskan sesuatu, padahal coba enkau perhatikan kawanku, pembacaku yang budiman, para pemerhati sastra tingkat tinggi. Tidak terasa, aku sudah menulis sepanjang tiga halaman A4. terus menerus tidak berhenti. Walau melantur dan meloncat kesana-kemari.
Tapi paling tidak aku sudah berani mengakui ketidak mampuanku dalam bentuk tulisan. Mengakui ketidak mampuan menulis dalam bentuk tulisan. Ah sungguh ketidak mampuan yang hebat. Ketidak mampuan yang melahirkan ide untuk menulis.
Sebenarnya kesulitan yang sering menghambat kreatifitas itu biasanya disebabkan oleh aturan-aturan, oleh tata cara menulis, oleh aturan baku menulis, dan yang paling sering ole hide yang buntu dan tidak menarik.
Padahal selama ide itu ada tulis saja terlebih dahulu, nanti pasti otak kanan yang mendamba kebebasan itu akan menuntunmu sendiri kepada penemuan-penemuan yang mencengangkan dirimu sendiri. Bahkan tanpa aku sadari sendiri, begitu mulai menulis dengan menggunakan otak kanan maka unstoppable adalah kata yang tepat untuk fenomena ini. Seperti Andrea Hirata yang tidak memiliki latar belakang sastra, namun mampu melahirkan sebuah karya sastra yang bahkan menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang.
Sebabnya mengapa? Karena dia menulis dengan tidak banyak berfikir, artinya dia terus saja menulis tanpa perduli dengan baik atau tidaknya aturan dalam tulisannya, layak atau tidak tulisannya dipublikasikan, laku atau tidaknya di pasaran. Tidak sekali lagi tidak dengan semua itu seorang Andrea Hirata menulis. Tapi mas Andrea menulis dengan kekuatan cinta dari dalam hatinya, kekuatan janji kepada ibu gurunya bu Muslimah. Sehingga dengan kekuatan inilah otak kanannya berfungsi dengan optimal tanpa dicampuri urusannya oleh otak kiri yang mendamba aturan-aturan kaku dan penuh dengan pertimbangan baik atau tidak, layak atau tidak, jelek atau bagus. Ah sungguh menyenangkan jika bisa menjadi seperti itu.
Sayangnya, aku yang sudah mengetahui rahasia terbesar penulisan itu-seperti yang dikatakan oleh Jonru-tidak sepenuhnya bisa melaksanakan apa yang sudah kuketahui itu. Padahal kalau aku ingin seharusnya aku bisa melakukan itu. Apalagi aku sudah tahu kalau tips seperti itu datanganya dari seorang penulis.
Intinya, setiap akan menuliskan sesuatu kita harus mengawali tulisan kita dengan otak kanan terlebih dahulu, baru kemudian setelah tulisan kita selesai semua kita gunakan otak kiri kita. Dan yang harus diingat dan paling penting untuk diingat, jangan sekali-kali menggunakan otak kiri ketika otak kanan kita sedang melakukkan tugasnya. Jangan sekali-kali..!!
Sebab mengapa, tulisan kita akan mandek dek dek dan tidak bisa berjalan. Walaupun bisa berjalan pasti akan terseok-seok.?! Mungkin..
BidVertiser, ngga sesulit adsense
12 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar ya..!! Untuk membantu saya..